Rabu, 21 November 2012

Masyarakat Plural dalam Kajian Politik Etnik

Bidang yang paling menampakkan adanya perpaduan antara masyarakat plural dalam kajian politik etnik adalah dalam bidang politik. Banyak sisi perpolitikan kita yang memperlihatkan kaum minoritas dan mayoritas. Perbedaan itu ditujukan oleh perbedaan kesukuan. Indonesia memang terdiri dari ratusan suku bangsa.
Kita ambil salah satu contonya di bidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) daerah yang paling banyak menampilkan perwakilannya adalah dari suku Jawa. Berbagai hal dapat menjadi alasan persepsi ini. Karena faktor memang banyak para pemimpin atau perwakilan birokrasi dari jaman kerajaan sampai pemerintahan penjajah Hindia-Belanda adalah orang Jawa.
Hal ini semakin menunjukkan sebuah jurang perbedaan ataupun ketimpangan antar suku. Dari jaman Hindu-Budha suku Jawa memang sudaah terlihat terdepan atau lebih unggul dibanding suku-suku lain. Alasan lain adalah karena dalam bidang pendidikan, dipulau Jawa memang lebih unggul. Dan dipulau Jawa adalah pusat pemerintahan bangsa kita.
Contoh lain adalah dalam hal pemimpin bangsa yaitu presiden dari Sukarno sampai SBY, semua adalah orang dari suku Jawa. Untuk contoh ini, alasan terkuat namun tidak dapat dibenarkan muncul ditengah masyarakat. Adanya mitos bahwa Presiden bangsa kita haruslah orang Jawa. Nampak tidak relevan dengan zaman sekarang yang sudah modern. Kenapa mitos tersebut terus tumbuh ditengah masyarakat Indonesia.
Di Indonesia saat ini, terdapat kebudayaan politik yang berkembang di masyarakat. Budaya Politik Hirarki yang Tegar. Titik tolak dari budaya ini adalah sebuah pola budaya yang dominan, yang berasal dari kelompok etnis  yang dominan pula yaitu kelompok etnis jawa. Secara lebih spesifik budaya dijabarkan sebagai sebuah anggapan yang berkembang di masyarakat, khususnya dikalangan birokrat. Dimana para birokrat sering kali menampakkan diri dengan self-image atau citra-diri yang bersifat benevolent, yaitu dengan ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi rakyat, sebagai pamong atau guru/pendidik bagi rakyatnya. Kalangan ppenguasa harus menampakkan diri sebagai kelompok yang pemurah, baik hati, dan pelindung dari seluruh rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya, kalangan penguasa memiliki persepsi yang merendahkan rakyat. Karena penguasa sudah begitu baik hati maka selayaknya rakyat harus patuh dan melayani rakyat. Menurut analisis Anderson, konsep tentang kekuasaan dalam masyarakat jawa berbeda sekali dengan apa yang dipahami oleh masyarakat barat. Karena bagi masyarakat jawa kekuasaan itu pada dasarnya bersifat konkret, besarannya konstan, sumbernya homogen dan tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi. Berbeda hal dengan masyarakat Barat, dimana kekuasaan itu bersifat abstrak dan berasal dari berbagai sumber, seperti uang, harta kekayaan, fisik, kedudukan,asal-usul, dan lain sebagainya.